Pages

Jumat, 25 Maret 2011

problematika pengajaran bahasa indonesia

0 komentar
PROBLEMATIKA PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
oleh : Redaksi [ 2006-03-27 05:12:59 ]
Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal di beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia diajarkan sejak kelas 1. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang dijadikan status sebagai bahasa persatuan sangat penting untuk diajarkan sejak anak-anak. Bahasa Indonesia tidak akan terlepas dari kebudayaan bangsa Indonesia karena bahasa Indonesia dijadikan alat berkomunikasi dengan berbagai suku di tanah air. Bahasa Indonesia memang diajarkan sejak anak-anak, tetapi model pengajaran yang baik dan benar tidak banyak dilakukan oleh seorang pengajar. Metode pengajaran bahasa Indonesia tidak dapat menggunakan satu metode karena bahasa Indonesia sendiri yang bersifat dinamis. Bahasa sendiri bukan sebagai ilmu tetapi sebagai keterampilan sehingga penggunaan metode yang tepat perlu dilakukan. Pencarian penulis di beberapa artikel baik melalui internet mapun perpustakaan daerah belum banyak ditemukan hasil-hasil penelitian metode terbaik pengajaran bahasa Indonesia. Pengajar Bahasa memiliki suatu kewajiban untuk mempertahankan keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sekaligus memperjuangkan Bahasa Indonesia dapat diterima dan membuat tertarik bangsa lain untuk mempelajarinya. Oleh sebab itu, pengajaran yang baik menjadi tanggung jawab para pengajar bahasa. Demokratisasi pembelajaran, yang beberapa waktu lalu dipromosikan melalui pendekatan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang direvisi menjadi kurikulum 2006, telah membawa tantangan baru bagi profesi guru. Menurut Komisi Internasional tentang Pendidikan di Abad ke-21 UNESCO (Delors, 1996) aneka perubahan besar dalam ilmu dan teknologi dewasa berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Di abad ini sumber-sumber informasi telah berkembang pesat di luar sekolah dengan cara yang begitu menarik dan ketika memasuki sekolah siswa sudah memiliki kekayaan informasi itu. Pesan-pesan media yang dikemas dalam bentuk hiburan, iklan, atau berita sungguh menarik para siswa dan ini bertolak belakang dengan pesan-pesan yang dikemas para guru dalam pembelajaran di kelas. (Republika, 2004). Pada pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar / madrasah ibtidaiyah sangat mengandalkan penggunaan metode-metode yang aplikatif dan menarik. Pembelajaran yang menarik akan memikat anak-anak untuk terus dan betah mempelajari Bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 setelah bahasa ibu. Apabila siswa sudah tertarik dengan pembelajaran maka akan dengan mudah meningkatkan prestasi siswa dalam bidang bahasa. Di sebagian siswa, pembelajaran Bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa bisa dan penyampaian materi yang kurang menarik sehingga secara tidak langsung siswa menjadi lemah dalam penangkapan materi tersebut. Penulis sebagai guru Bahasa Indonesia sangat merasakan problem pembelajaran yang terjadi selama ini. Penulis juga menemui kasus serupa ketika berada di daerah kabupaten yang terpencil sangat kurang sekali penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh sebab itu, penulis berusaha melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di dalam kelas. Salah satu perubahan yang dilakukan dengan menggunakan metode role play dan metode STAD (student teams achievement division) dalam standart kompetensi berbicara dan membaca. Dalam pembelajaran Menceritakan Kegemaran, dapat dilakukan dengan menggunakan metode role play sehingga menjadikan siswa lebih aktif. Metode role play memahami bahasa sebagai keterampilan berbicara secara langsung dengan berdasarkan kehidupan siswa dalam masayarakat. Metode role play sangat cocok diterapkan ketika pengajar melakukan pembelajaran berbicara dengan dibantu dengan kartu peran. Pertama-tama, siswa dibagi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Sebelumnya pengajar menyediakan kartu peran dua macam yang berbeda warna sebanyak jumlah siswa. Dalam kartu peran tersebut sudah diberi tanda atau tulisan siapa yang menjadi lawan bicaranya. Siswa yang lain mencari pasangan bicaranya. Setelah menemukan, siswa yang mencari tersebut berusaha untuk mengorek keterangan tentang kegemarannya dengan menggunakan pertanyaan yang sudah disediakan di kartu perannya (boleh ditambah sendiri), tetapi siswa yang diajak bicara diberi tahu supaya jangan menjawan secara langsung kegemaran dirinya. Dengan kegiatan ini, siswa saling berusaha untuk mencari dan memainkan strategi untuk mengetahui kegemaran teman bicaranya. Kegiatan ini dilakukan secara bergantian. Setelah selesai melakukan kegiatan tersebut, pengajar memberikan pengarahan sekaligus bertanya jawab tentang kegiatan yang sudah dilakukan. Siswa yang dapat mengetahui kegemaran lawan bicaranya diberi penghargaan. Dalam pembelajaran membaca dapat memakai metode STAD sebagai kegiatan memacu anak-anak memahami bacaan dengan cara diskusi kelompok. Teori STAD (student teams achievement division) merupakan metode yang menekankan kepada kerja sama kelompok untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dalam metode ini, siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Saat belajar berkelompok, siswa saling membantu untuk menuntaskan materi yang dipelajari. Guru memantau dan mengelilingi tiap kelompok untuk melihat adanya kemungkinan siswa yang memerlukan bantuan guru. Metode ini pun dibantu oleh metode pelatihan, penugasan, dan tanya jawab sesuai satuan pelajaran sehingga ketuntasan materi dapat terwujud (Her World Indonesia edisi Maret 2005, halaman 190 – 1). Untuk memudahkan penerapannya, guru perlu membaca tugas-tugas yang harus dikerjakan tim, antara lain: a. Meminta anggota tim bekerja sama mengatur meja dan kursi, serta memberikan siswa kesempatan sekitar 10 menit untuk memilih nama tim mereka atau ditentukan menurut kesesuaian b. Membangkitkan lembar kerja siswa (LKS) c. Menganjurkan kepada siswa pada tiap-tiap tim bekerja berpasangan (dua atau tiga pasangan dalam satu kelompok) d. Memberikan penekanan kepada siswa bahwa LKS itu untuk belajar, bukan untuk sekadar diisi dan dikumpulkan. Karena itu penting bagi siswa diberi lembar kunci jawaban LKS untuk mengecek pekerjaan mereka pada saat mereka belajar e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menjelaskan jawaban mereka, tidak hanya mencocokkan jawaban mereka dengan lembar kunci jawaban tersebut f. Apabila siswa memiliki pertanyaan, mintalah mereka mengajukan pertanyaan itu kepada teman atau satu timnya sebelum menanyakan kepada guru g. Pada saat siswa bekerja dalam tim, guru berkeliling dalam kelas, sambil memberikan pujian kepada tim yang bekerja baik dan secara bergantian guru duduk bersama tim untuk memperhatikan bagaimana anggota-anggota tim itu bekerja h. Memberikan penekanan kepada siswa bahwa mereka tidak boleh mengakhiri kegiatan belajar sampai dapat menjawab dengan benar soal-soal kuis yang ditanyakan. Hasil kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode STAD didapatkan nilai rata-rata 8,31, daya serap 80,31, dan kategori bekerhasilan 70 – 95 persen. Dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar tanpa mengunakan metode STAD hanya memperoleh hasil berupa nilai rata-rata 6,37, daya serap 60,37 persen dari target 100 persen, kategori bekerhasilan 50 – 70 persen. Nilai pembanding atau peningkatan STAD rata-rata 1,94 dari 35 siswa kelas 2. Karena itu disimpulkan, penggunaan metode ini dipandang lebih berhasil dan nyata meningkatkan mutu pembelajaran membaca pemahaman (sumber: republika online). Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis telah melakukan uji coba dengan menggunakan metode STAD. Penulis menggunakan materi membaca efektif yang didalamnya mencari pokok pikiran tiap paragrap serta mencari arti kata-kata sulit. Siswa dibagi menjadi kelompok kecil sekitar 3-4 orang. Pengajar membagikan kertas LKS dan bacaan ke setiap kelompok. Tiap kelompok membahas dan mencari pemahaman wacana, pokok pikiran, serta kata-kata sulit dalam satu kelompok tersebut. Pengajar meminimalkan memmberikan instruksi atau penjelasan kepada siswa, biarkan tiap kelompok mencari dan menemukan sendiri pemecahan masalah yang ada di LKS. Setelah itu, di akhir pelajaran tiap kelompok melakukan diskusi tentang hasil kerja kelompoknya dengan kelompok lainnya dengan bimbingan pengajar. Semoga tulisan ini menjadi sebuah wacana baru bagi pengajaran Bahasa Indonesia yang bagi sebagaian siswa merupakan pelajaran yang sangat membosankan. Tulisan ini bukan sebagai akhir dari sebuah pencarian metode pembelajaran yang terbaik guna meningkatkan kualitas siswa. Manusia tanpa cinta bagai pohon yang tidak berbuah, guru tanpa belajar bagai rumah tanpa tiang. Penulis Abdul Haris Ishaq. S. S. Guru MIN Malang 1 dan Instruktur Bahasa Indonesia KPI # # # Terima Kasih # # #

Ensiklopedia sastra dalam kritik

0 komentar
Ensiklopedia Sastra Kalsel dalam Kritik
(Tanggapan terhadap Kritik Ivan Denisovitch)
Mahmud Jauhari Ali
Radar Banjarmasin
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas adanya kritik terhadap sebuah buku yang baru saja diterbitkan oleh Balai Bahasa Banjarmasin. Buku yang disusun oleh sebuah tim ini telah berhasil menjadikan masyarakat Kalimantan Selatan membaca isinya. Bahkan, saya berani mengatakan bahwa buku ini telah berhasil menciptakan proses berpikir kreatif dari para pembacanya. Hal ini terbukti dengan adanya kritik membangun dari salah seorang pembacanya yang notabene adalah sastrawan Kalimantan Selatan di kolom Cakrawala Radar Banjarmasin terbitan Minggu, 14 September 2008. Penulis turut menyampaikan terima kasih kepada bung Ivan atas kritik yang telah membuat otak penulis bekerja membuat sebuah coretan untuk sekadar berbagi pengetahuan walau sedikit. Semoga pula kritik tersebut membangunkan pemikiran dari pihak tim penyusun buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan untuk merevisi hal-hal yang menjadi kelemahan dan menambahkan kekurangan dalam buku tersebut sebagaimana telah diungkapkan bung Ivan dalam tulisannya itu.
Buku berisi bersih 206 halaman ini merupakan hasil kerja keras tim penyusunnya untuk mendokumentasikan kehidupan sastra dalam bentuk cetak. Penulis sengaja tidak menyebut Balai Bahasa Banjarmasin yang menyusunnya, tetapi dengan sebutan tim penyusun. Hal ini penulis maksudkan untuk menghindarkan anggapan bahwa seluruh orang Balai Bahasa Banjarmasin yang menyusunnya. Padahal hanya beberapa orang saja atau hanya segelintir manusia saja yang terlibat dalam penyusunan buku tersebut. Dalam program kerja Balai Bahasa Banjarmasin, untuk penyusunan buku tersebut hanya melibatkan delapan orang tenaga penyusun, yakni Drs. Saefuddin, M.Pd., Dahliana, S.Pd., Musdalipah, S.S., Siti Akbari, S.S., Rodisa Edwin Abdine, S.Pd., Sri Wahyu Nengsih, S.Pd., Nidya Triastuti Patricia, S.S., dan Yoga Sudarman.
Menanggapi kritik atas buku ini, memang tidak dapat kita bantah bahwa buku ini memiliki kelemahan. Mungkin wajar bahwa sebuah buku memiliki kelemahan karena pada hakikatnya ciptaan manusia jauh dari sempurna. Buku sebagai ciptaan manusia tidak pernah ada yang hanya memiliki kelebihan. Di balik kelebihan, tentu ada kelemahan sebagai bukti bahwa kita hanyalah makhluk, bukan Tuhan Yang Maha Pencipta. Inilah salah satu kesadaran yang harus kita miliki sebagai hamba Tuhan.
Meskipun demikian, tentulah kita harus semaksimal mungkin menciptakan sesuatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan manfaat bagi diri kita dan orang lain. Melihat dan membaca serta mengoreksi buku yang baru terbit ini, penulis mengatakan dengan jujur bahwa tim penyusunnya memang harus merevisi dan menambah isinya agar kualitasnya lebih baik dan lebih legkap isinya daripada saat ini. Penulis melihat adanya sedikit kesalahan dan kekuranglengkapan dalam buku ini.
Penulis mengibaratkan buku ini seperti ember plastik yang tidak penuh berisi air dengan sedikit bintik hitam. Artinya, masih ada kekosongan yang harus dilengakapi dan diperbaiki sebagiannya yang masih salah dalam buku ini. Sebagai contoh, masih banyak sastrawan kreatif dan produktif yang belum dimuat dalam buku ini, baik angkatan dahulu maupun angkatan terbaru. Sastrawan angkatan dahulu yang biodata lengkap dan karya-karya serta akivitas-aktivitas sastranya tidak dimuat dalam lema tersendiri pada buku ini, misalnya adalah Abdul Karim Amar yang merupakan sastrawan Kalsel angkatan 70-an asal Kertak Hanyar. Padahal dalam buku itu disebutkan nama beliau, tetapi tidak sebagai lema tersendiri, yakni pada kalimat pertama paragraf ketiga di halaman 195. Seharusnya jika sudah disebutkan namanya, berarti beliau diakui sebagai sastrawan Kalsel. Karena itulah, seharusnya biodata, karya-karya, dan segala aktivitas sastrawan yang bersangkutan dimuat dalam lema tersendiri.
Begitu pula dengan sastrawan-sastrawan muda saat ini banyak tidak disebutkan dalam lema-lema tersendiri dalam buku ini. Seperti kasus Abdul Karim Amar, kasus Sandi Firly sebagai sastrawan muda yang produktif saat ini namanya hanya dimuat pada lema lain, yakni misalnya dalam kalimat kedua pada paragraf kedua di halaman 23. Dapat kita katakan bahwa perkembangan sastra terkini (mutakhir) dalam segala hiruk-pikuknya tidak disertakan di dalamnya. Selain itu, penjelasan sebagian besar lema yang sudah ada juga harus diperbanyak. Sebagai contoh, penjelasan lema Amanah Ibu pada halaman 25 sangat kilat. Sinopsis novel tersebut sama sekali tidak dituliskan walau hanya sekilas info.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam buku ini pun masih ada yang salah. Sebagai contoh, kesalahan yang nyata terdapat pada kalimat kedua dalam paragraf keempat halaman 24, yakni kata mempublikasikan. Seharunya kata itu ditulis memublikasikan dan bukan mempublikasikan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga halaman 902). Dalam morfologi bahasa Indonesia, jika prefiks meng- diimbuhkan pada kata berawal huruf p, tentulah huruf p itu mengalami peluluhan. Jadi, prefiks meng- yang diimbuhkan pada kata publikasikan menjadi memublikasikan.
Hal-hal di atas perlu direvisi dan ditambahkan karena dengan adanya revisi dan penambahan, buku ini akan lebih memberikan manfaat dalam dunia sastra di Kalimantan Selatan khususnya dan di alam jagat raya pada umumnya. Satu catatan penting yang harus dilakukan oleh tim penyususn buku ini adalah kerja sama dengan para sastrawan, bukan sebagian sastrawan saja. Selama ini memang dalam penyusunannya hanya melibatkan beberapa sastrawan sebagai pengumpul naskah. Ini merupakan salah satu akar dari kesalahan yang menyebabkan kelemahan dalam buku ini. Seharusnya pihak penyusun buku ini melibatkan sastrawan-sastrwan Kalimantan Selatan sebagai rekan kerja dalam penyusunannya. Saya sependapat dengan bung Ivan yang menyebutkan bahwa jadikan sastrawan Kalimantan Selatan sebagai penyunting, narasumber, dan konsultan dalam penyusunan buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan. Hal ini sangat perlu karena yang lebih mengetahui seluk-beluk dunia sastra di Kalimantan Selatan adalah para sastrawan Kalimantan Selatan.
Pihak Balai Bahasa Banjarmasin selama ini telah menjadikan guru-guru besar Bahasa FKIP Unlam sebagai konsultan dalam penyusunan buku-buku bahasa oleh para bahasawan di Balai Bahasa Banjarmasin. Jadi, selain berguru dengan para pakar bahasa di pusat, seperti Dr H. Mahsun, M.S (pakar dialektologi), Prof. Dr. Nadra, M.S (pakar dialektologi), Prof. Dr. Ahyatroheidi (pakar dialektologi/adik Ayiprosidi), dan Prof. Dr. Anton M. Mulyono (pakar leksikografi), para bahasawan di Balai Bahasa Banjarmasin juga melibatkan diri dengan pakar-pakar bahasa di Kalimantan Selatan. Dalam penyusunan buku-buku sastra seharusnya para penggawa sastra dan para perajurit mereka di Balai Bahasa Banjarmasin juga menjadikan para sastrawan sebagai konsultannya, penyunting, dan narasumber primer dalam setiap penyusunan buku dan lainnya.
Saya salut dengan para tenaga teknis bahasa di Balai Bahasa Banjarmasin yang selama ini bekerja sama dengan para pakar bahasa di Kalimantan Selatan untuk menciptakan buku-buku yang bermutu. Bahkan, ada rencana akan dibentuknya cabang HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia ) di Kalimantan Selatan oleh mereka. HPBI Pusat bermarkas di Jakarta. Kini saatnya para tenaga teknis sastra di Balai Bahasa Banjarmasin bekerja sama dengan para sastrwan di provinsi ini. Saya juga sependapat dengan bung Ivan bahwa Balai Bahasa Banjarmasin dan sastrawan Kalimantan Selatan harus mendekat. Antara keduannya memang haruslah rekat dalam satu keharmonisan guna menciptakan masyarakat madani dalam hal sastra di Negara kita ini. Jika perlu, para tenaga teknis sastra di Balai Bahasa Banjarmasin harus melibatkan diri aktif dalam setiap acara sastra di provinsi ini, seperti acara Aruh Sastra V yang insya Allah diadakan di Balangan pada bulan Oktober mendatang. Menurut penulis, Balai Bahasa Banjarmasin juga harus berlangganan Surat Kabar Radar Banjarmasin khusus terbitan Minggu yang memuat perkembangan sastra terkini di Kalimantan Selatan. Dengan berlangganan Radar Banjarmasin terbitan Minggu itu, orang-orang Balai Bahasa Banjarmasin, baik tenaga teknis sastra maupun tenaga teknis bahasa dapat mengikuti perkembangan sastra sekaligus ikut aktif di dalamnya.
Menutup tulisan ini, saya menyarankan agar buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan diwujudkan para tim penyusunnya dalam bentuk yang lebih baik lagi daripada saat ini terhadap isinya. Akhirnya, marilah kita tidak saling menjauhkan diri apalagi memutuskan tali persaudaraan di antara kita. Marilah kita saling membantu di dalam kebaikan termasuk dalam hal sastra di Kalimantan Selatan ini. Fastabiqulkhairat!

problematika pengajaran sastra di sekolah

0 komentar
Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah
Mahmud Jauhari Ali


=====Di tengah ramainya tuntutan para guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka, sudahkah para guru itu berkontemplasi. Maksudnya adalah merenungi atas hal-hal yang telah mereka perbuat dalam dunia pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan. Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif para siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis para siswa yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal ini berlangsung hingga pada tahap evaluasi.
Dalam pengajaran sastra ini, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh para guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita pandang perlu karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, para siswa pun kurang cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih daripada itu, kita mengingkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan para siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagai outcome dalam pengajaran sastra di sekolah.
Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding-dinging kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara optimal. Misalnya, ketika para siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding-dinging kelas kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi. Ini merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya para siswa perlu diajak oleh para guru keluar ke alam terbuka yang membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.
Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan para siswa dalam hal sastra. Sebenarnya para guru bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, dan juga dalam media elektronik, yakni internet dan radio. Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada pada diri para siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya-karya sastra mereka secara luas dan secara kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan-sastrawan Kalimantan Selatan kepada para siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal para sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya-karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki oleh para siswa di setiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, para guru bahasa dan sastra jangan hanya memperkenalkan para sastrawan dari pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada para siswa. Perlu kita ketahui bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T. Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya-karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di setiap jenjang pendidikan di provinsi ini. Dengan demikian, para sisiwa juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalel juga ada yang menggunakan bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga ini juga harus segera diatasi agar pengajaran sastra di sekolah dapat berlangsung secara baik dan benar.
Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi ini adalah berkenaan dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak guru bahasa dan sastra yang kurang menyinggung apalagi membelajarkan sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut, dan madihin kepada para siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali di ajarkan dengan porsi yang memadai. di sekolah-sekolah. Hal ini sangat bagus dalam rangka melestarikan khazanah kekayaan sastra dan bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan seharusnya diajarkan para guru bahasa dan sastra kepada para siswa.
Menutup tulisan ini, sudah saatnya para guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal ini guna kemajuan di provinsi kita. Bagaimana menurut Anda?